Senin, 03 Agustus 2009

Teman Hitam

"aku tersentak melihat tingkah mereka. Tatap mata tajam mereka seolah menakut-nakutiku sudah tak menurunkan nyaliku. Dendam yang sejak dahulu tumbuh subur harus di bayar mereka sekarang. Kugerakkan jemariku yang lemah dan lebih suka memegang permen ini. Seraya menggenggam erat sebuah balok yang kudapat ditempat itu, aku membabi buta memukul mereka semua, tak sadarku melihat cercah darah "

Sejak tadi keceriaan ini terus berlangsung, canda tawa yang pecah disetiap sudut suasana kelasku menjadi panggung sandiwara kejamnya teman-temanku ini. Mereka adalah bocah-bocah ingusan yang yang tidak berlaku sesuai waktunya. Mengerti penjajahan dan penindasan dalam setiap perannya. Aktor-aktor antagonis dengan penjiwaan yang melebur dan tak pernah meluntur. Bukan tanpa alasan, Sosokku yang rapuh bersama rasa takut lebih senang berdiri tegak melihat dari kejauhan, karena setiap ulah yang kuperbuat hanya akan memancing mereka untuk memperburuk keadaanku nantinya. Tak jarang tingkah laku mereka datang menertawakan kepedihanku. Aku sudah mulai tak percaya pada keadilan, karena aku melihat mereka seperti serdadu penjajah yang tak akan pernah memerdekanku. Senyumku yang kaku karena keadaan hanya sedikit tempat aduan dari rasa kesal ini. Belum lagi dinginnya perasaan mereka semakin mencerai-beraikan kesabaran, menaklukkan semangat, dan mengubur harapanku.
Ditengah perasaan terasingkan lebih baik mengadu pada khayal pikirku, namun ini tak lebih baik, semuanya hilang saat aku tersadar karena pukulan keras di kepalaku, “Hey Bodoh! Sedang apa kau?” aku tersentak karena pukulan tersebut yang membuat ku jatuh tersungkur dan membuat kotor seragam merah putih yang kukenakan. Terbang anganku pada pagi hari tadi dimana ibu dengan bangganya menyiapkan seragam ini. Senyum perdamaian yang dilontarkannya sebelum aku berangkat tak sebanding dengan apa yang kudapat ditempat ini. Juga kotor yang seharusnya tidak menjadi bagianku, namun inilah yang benar terjadi. Sepertinya dengan sengaja mereka menumbuh-suburkan rasa dendam, sesaat kemudian aku berdiri dan mengusap-usap setiap debu yang melekat didiriku sambil menoleh kedepan melihat davis yang berlalu dengan senyum bangga. Tawa teman-teman yang menyambut kedatangannya terdengar jelas dan lantang. Tubuhnya yang besar menjadikan ia orang yang ditakuti disekolah ini. Tak heran banyak anak-anak lain yang menjilat kekuasaannya untuk beroleh rasa aman. Namun itu bukan pilihan buatku, yang tertulis adalah hal yang harus kukerjakan. Bukan melawan keadaan, karena semua menjadi lebih baik saat aku bisa melihat kekuasaannya habis. Lagi-lagi sorot matanya yang tajam harus menundukkan wajahku yang terlihat ketakutan pilu. Aku tak ingin menangis, tapi kenapa mataku harus meneteskan titik air saat ini. Hal ini cuma akan mempermalukanku. Namun semua sudah terjadi tanpa tertahan, melemahkanku dalam cerita-cerita anak manja yang temanja. Mereka teman-teman hitam yang kosong tanpa citra. Harapku tidak ada bagian seperti ini, hanya sahabat yang sama-sama tertawa dan sama-sama beranjak dewasa. Tidak menumbuhka sesal diakhir cerita.
Saat ini, aku bersama kotor ini adalah suatu pemandangan yang buruk. Bukan karena warna kecoklatan yang melekat erat pada seragamku, bukan karena tetesan tangis barusan, juga bukan karena pukulan keras yang tepat mengenai kepalaku, namun karena aku lebih terlihat seperti pecundang. Kenapa tak kupukul saja ia? Pikirku dalam hati, ternyata nyaliku tak sebesar omongku yang berbisik. Masih kupertimbangkan kekuatannya yang tak sebanding, yang nantinya hanya akan membuatku lebih terluka.
Kutinggalkan sesaat peraduan ini. Segera aku beranjak dari tempat yang melekatkanku pada berdiri tegak. Sengaja kucari kesepian dibelakang sekolah untuk melepas kecewa. Berbicara pada rumput-rumput, dan menyejukkan hati pada tanah basah yang sedikit berteman. Dan bersandar pada batu besar yang gagah. Mereka seolah bertanya mengapa aku murung? Jawabku dengan sebuah senyum yang bersemangat karena aku masih punya mereka. Dan anggukkan rumput hijau ini juga melepas gundah. Ketika hendak pergi melanjutkan pelajaran hari ini kusempatkan menoreh kebelakang, mereka tetap setia ditempat itu untuk mendengar ceritaku selanjutnya.
Jam sudah menunjukkan pada pukul 12 tepat, sekarang saatnya menyudahi kegiatanku ditempat yang tidak bersahabat ini. Berhenti melihat wajah penindas-penindas tersebut, Dengan cepat aku beranjak dan pulang menuju rumah. Melewati waktu tanpa rasa takut dan tekanan.
Pagi ini terlihat sama, bersama dingin yang mengantarkanku pergi kesekolah dan juga tanda tanya tentang apa yang akan terjadi nantinya. Tepat saja, sengaja kuhindarkan diriku di persimpangan jalan, kulihat Davis bersama komplotannya yang menjijikan. Kujauhkan jarak untuk mencari rasa aman, namun yang terjadi sebaliknya, sial…! hal ini semakin memancing kebrutalan mereka. “Kemari kau…!!!” Teriak bocah-bocah kurang ajar ini mendekat kearahku. Sebuah sambutan cekikan yang menyesakkan dada sembari melepaskan pukulan keras tepat diwajahku menjadi pelajaran dipagi ini. Di tambah lagi sifat penjajah mereka yang memaksa untuk mengambil semua uang yang kumiliki. Hal ini selalu saja terulang, aku yang selama ini hanya menjadi tawa dan olokkan-olokkan mereka sudah tidak sabar. Namun bocah lemah seperti aku bisa berbuat apa? Jemariku yang tak pernah kuat untuk memukul hanya bisa memegang permen sebagai penghilang rasa kesal. Teriakku rintih hanya bisa berucap “lepaskan…lepaskan…” dan sampai mereka mendapatkan semua recehan yang kumiliki baru aku terlepas dari kebrutalan ini. Sangat tidak berkemanusian… “apa kita memang tidak berteman?” Tanyaku, “Ha…ha…” gelak tawa mereka, seraya pergi meninggalkanku yang merasa terluka.
Kulanjutkan perjalananku dengan sebuah luka memar pada pipi kiri, dan harta yang habis dirampas oleh mereka, harapku hanya bertemu rumput dan batu tempat ku bersandar. Teman-teman yang benar ada dan setia mendengarkan ceritaku. Seperti biasa, aduanku yang selalu disambut meriah dibelakang sekolah adalah harapanku untuk tetap tersenyum. Namun saat aku hendak berjalan kesana, Davis dan semua teman-temannya sedang asik merusak tempat itu, menginjak-injak rumput hijau, dan memukul keras batu tempat ku bersandar hinga pecah. Tempat itu terliha menderita, aku tersentak melihat tingkah mereka. Tatap mata tajam mereka seolah menakut-nakutiku sudah tak menurunkan nyaliku. Dendam yang sejak dahulu tumbuh subur harus di bayar mereka sekarang. Kugerakkan jemariku yang lemah dan lebih suka memegang permen ini. Seraya menggenggam erat sebuah balok yang kudapat ditempat itu, aku membabi buta memukul mereka semua, tak sadarku melihat cercah darah dan luka pada tubuh mereka. Suara lantang yang suka berteriak keras ditelingaku sekarang terdengar menjadi tangis ampun. Ini bukan karena mereka menyakitiku, namun lebih kepada penderitaan rumput dan batu yang setia mendengar aduanku. Dan juga arti teman yang saling merasakan. Hingga semua tak berdaya dan aku pergi dengan dendam yang terjawab.***



design template by: warnafoto.blogspot.com