Senin, 20 April 2009

Doa ibu

"Berat dan terasa sangat berat, ini masih belum terjawab. Dan setelah bertarung dengan gejolak kesadaran secara perlahan aku kembali membuka mataku. Setelah kedua mataku terbuka dan aku tersadar penuh karena genggaman erat tangan ibu dengan lantunan doa yang menyebut namaku terdengar jelas. Kulihat sekeliling yang membuatku mengangis dan meneteskan air mata sebagai tanda bersalah"

“Woy! pelankan musik itu…”

teriakkanku lenyap dalam kebisingan pesta yang kacau ini. Mereka yang berpesta adalah kumpulan brandalan kota yang sangat sarat dengan kebrutalan, termasuk aku diantaranya merupakan orang-orang yang sudah terbiasa dalam suasana acuh tanpa memikirkan orang disekitar. Besar di pusat kota adalah kesalahan terbesar buatku. Karena mental yang tidak dapat berdiri dengan tegak membuatku dengan ringannya terbawa arus modernisasi yang merayap dalam setiap pergaulan anak-anak muda seperti aku. Ditemani sebotol minuman beralkohol yang kugenggam erat ditangan kiriku kucoba untuk berteriak sekali lagi “pelankan musik itu…” namun hasilnya masih sama saja, keacuhan benar-benar merajai suasana. Wajar saja dari tadi aku coba berteriak agar musik itu dikecilkan, karena dering telepon genggamku yang sudah berulang kali berbunyi karena panggilan dari ibu dirumah. Ia pasti cemas tentunya karena sampai larut malam ini aku belum pulang kerumah. Dalam kesadaranku yang tinggi aku coba melangkahkan kaki untuk menjauhkan diri dari kekacauan ini. Sampai alunan musik dengan bit drum yang cepat tersebut sudah tak terdengar lagi, lalu keberanikan diri untuk mengangkat telepon dari ibu. “Mama aku masih dijalan sebentar lagi pulang” ini adalah alasan klasik yang biasa kugunakan ututk menjawab teleponnya setiap malam. Namun hembusan nafas lega atas kegelisahannya tadi adalah buah dari kebohongan seorang brandalan sepertiku. Perbuatanku seperti meletakkan noda di atas kertas, yang bukan hanya mengotori kertas tersebut namun juga menyengsarakan penulisnya. Melupakan sejenak kebohongan tersebut aku kembali menikmati pesta sambil menikmati alunan musik melodic dengan dansa persaudaraan atau disebut dengan pow go oleh komunitas punk lokal di kota ini. Semua ini adalah hal yang biasa kulakukan setiap hari diakhir pekan selain berkumpul bersama teman-teman pada hari-hari biasa. Karena pengertian dari idealisme jalanan yang kutau dari mereka telah memikat diriku tentang arti kebebasan. Setelah paham tersebut menguasaiku, hanya sejenak waktu yang kusisakan buat ibu dan adikku dirumah. Dan setelah semua terlewati keadaan ini meninggalkanku pada perasaan menyesal atas semuanya. Namun biarlah kesalahan mengajarkanku pada jalan kebenaran dan mengerti arti dari kebersamaan yang sebenarnya.

Namaku Dave, dahulu aku adalah anak yang pintar dan berprestasi. Aku tinggal bersama ibu dan adiku. Sekarang aku tidak tau ayahku ada dimana, permasalahan yang setiap hari terjadi membuat mereka lemah dan tak sanggup mempertahankan keluarga ini. Kami pindah kekota ini setelah mereka resmi bercerai. Bukan hanya suasana baru yang kudapat setelah mereka bercerai, kehidupanku berubah secara total karena perceraian mereka yang menghantuiku dihari-hari selanjutnya. Mulai tidak membatasi pergaulan maka aku dihantarkan pada kebrutalan. Tentang arti kebrutalan yang aku tidak mengerti tujuannya, namun dengan tidak memikirkan tentang tujuan, ternyata hal tersebut justru membuatku merasa lebih tenang dan bisa mngurangi dukaku atas perceraian ayah dan ibu. Semua lebih terkendali, tanpa tekanan dan paksaan. Hanya saja aku tetap percaya kalau suatu saat hal tersebut akan menghantarkanku pada kesengsaraan. Ini adalah petikan dari arti kehidupanyang tak lelah berputar tentang arti benar dan salah yang hanya bisa tertawa sebelum terluka. Dan sekarang dengan sombongnya aku tetap berdansa diantara hentakan drum satu dua dan teriakkan “oi…oi…” dalam ruangan bergema.

Setelah lelah dan alkohol yang sudah tak tersisa lagi saatnya aku memberikan sisa waktuku yang sedikit untuk ibu dan adik dirumah. Pesta telah berakhir, dan malam sudah melewati batas kata. Kepala miring dengan angan berayun diotakku adalah oleh-oleh yang akan kubawa pulang untuk mengantarkanku pada tidur malam ini.

Hentakkan lelah dalam langkah menuju rumah tak dapat kusembunyikan, dengan bermaksud untuk tidak mengganggu ibu dan adikku yang sedang tidur aku merayap pelan dalam kesunyian suasana rumah tanpa keluarga yang lengkap. Layaknya pencuri malam yang sudah menyiapkan semuanya aku masuk dengan hati-hati dan menuju kekamar untuk beristirahat. Agghhhh… tulangku rasanya seperti remuk terpecah-pecah. Hanya tempat tidur ini yang menjadi canduku dari setiap aktifitas bodoh seharian tadi. Namun berat mataku yang dengan sengaja kupejamkan tak juga mengantarkanku pada tidur yang nyenyak, dengan harapan bangun dipagi hari yang penuh segar, aku masih belum bisa beristirahat sampai detik ini. Berat dan terasa sangat berat, ini masih belum terjawab. Dan setelah bertarung dengan gejolak kesadaran secara perlahan aku kembali membuka mataku. Setelah kedua mataku terbuka dan aku tersadar penuh ada keanehan yang kurasakan, hal ini dikarenakan genggaman erat tangan ibu dengan lantunan doa yang menyebut namaku terdengar jelas. Tubuhku tak beradaya, setelah semua sedikit terkendali kulihat sekeliling yang membuatku mengangis dan meneteskan air mata sebagai tanda bersalah, kukira aku mengerti mengapa aku berada ditempat ini. Saat ini aku sedang terbaring lemah setelah tersadar dari koma selama empat hari dirumah sakit. Ternyata alkohol yang kuanggap sebagai teman tempat pengaduan telah merampas keshatanku. Hanya pelukkan dari ibu yang sanggup menguatkanku atas kesetiannya menjaga dan merawatku dari aku kecil hingga saat ini. Kebiasaan buruk dengan paham kebebasan tersebut sudah mengantarkanku pada kesalahan yang tak seharusnya kulakukan. Penyakit yang bukan hanya aku saja yang merasakanya, tapi orang-orang yang membagi ruang hatinya untuk selalu sayang terhadapku. Ibu dan adikku adalah paham yang sebenarnya harus kumengerti.

Hal Ini mengajarkan diriku tentang arti diri untuk siapa kita ada dan untuk siapa mereka ada. Semua kututup dengan tangis dan rasa bersalah sebagai noda yang mengotori kertas putihku. Dan sekarang sampai kedepannya kucoba untuk menulis rangkaian puisi diatasnya unutk mengganti keindahannya.***


design template by: warnafoto.blogspot.com