"Setelah detik yang telah banyak berlalu ntah apa yang membuatku bahagia hari ini, dan bukan mengandalkan khayalku namun aku yakin sesuatu yang baik akan terjadi, ini semakin terasa dekat dan begitu hangat. Bukan karena cahaya matahari yang cerah menembus dinding-dinding tepas tempat kami tinggal, bukan karena kicau burung merdu yang terasa menyejukkan, dan juga bukan karena hujan yang tak jadi datang tadi malam sehingga tak mengguyur tidur kami. Tapi karena..."
Dalam diam ruangan ini aku duduk santai berteman sepi, masih dengan keadaan miskin yang mendarah daging kami menahan lapar yang sungguh diruang tamu. “ha…ha…” tawaku melihat atap rumah kami yang bocor dan perabotan-perabotan busuk yang lelah menunggu warna. Namun jangan orang lain yang menertawai keadaan ini, karna itu adalah luka. Terasa membodohi-bodohi keluargaku yang sungguh sangat bodoh. Karena kemiskinan ini bukan kesalahan namun kebenaran.
Semua berlagak bisu sambil menutupi rasa laparnya masing-masing, bertopengkan perasaan sabar, tanpa kepastian bersembunyi dibalik harapan pulangnya ayah dengan membawa lemak dan rasa pedas. Disisi lain dengan perasaan kesal tentang arti kesederhanaan kakakku mondar-mandir memikirkan sesuatu. Mungkin ini sedikit menyakitkan, tampak wajah putus asanya terbingung karena berpikir keras untuk mencari makanan apa yang bisa dimakan hari ini. Sementara di kursi tua yang sudah terlihat lapuk itu, duduk ibuku yang menutupi derita laparnya dengan sulaman benang dikedua tangannya. Dan tumpukan kain-kain sulaman diatas meja tua itu adalah saksi dari ketidak berdayaannya yang lemah dan sakit-sakitan. Ini adalah kebanggan buatku tentunya, karena setiap cercah yang membalut tubuh kami adalah karya terindahnya, yang ia buat dengan lelahnya. Masih dengan sulaman yang akrab dikedua tangannya, kali ini sengaja diperbuat untuk menyibukkan dan memecahkan konsentrasinya tentang keadaan ini. Satu hal yang mengiris tajam perasaanku detik ini adalah mendengar adik kecilku yang merintih pelan “bu aku lapar”.
Namun ini bukanlah kelurga miskin tersebut. Keluarga ini hanya bertarung dipenatnya kota perantauan yang tak pernah bosan menjanjikan kesejahteraan. Hanya saja janji-janji itu seperti ruang kosong tempat berkumpulnya khayalan. Yang hanya terlihat dalam angan dan tak tersentuh, dan sebenarnya tak pernah ada. Walau sebenarnya keraguan tentang derita ini sudah lama terdengar dan tercium namun motivasi perubahan lebih kuat bertarug dan mengalahkan semua. Walau sekarang yang tersisa hanya derita dan sengsara yang terus memaksa untuk menyerah.
Kulangkahkan kakiku kedepan pintu gubuk tua ini untuk melihat secercah cahaya. Namun hanya hangatnya yang menyambutku ramah dan indah. Tapi bukan itu yang kucari, bersama sisa-sisa kekuatan yang ada setelah menahan lapar seharian aku masih belum melihat secercah harapan. Lagi-lagi kecewa merana dalam diriku karena ayah belum juga pulang. Aku kembali masuk dan duduk lemas didalam rumah. Belum sempat aku melepas kesal diduduk sandarku pada sebuah kursi, rintihan itu terdengar lagi dan meluluhlantakan perasaanku sekejap “bu, aku lapar!” dengan nada yang parau dan letih karena berusia ibu menjawab “sebentar lagi nak”. Suatu harapan yang tak bertuan pikirku… Kakakku yang sudah tidak bersabar dengan keadaan ini segera pergi kedapur, Huh… hanya tungkuan api yang kotor dan berabu yang menghiasi tempat ini. Untuk mengurangi rasa lapar dia mengambil segelas air dan meminumnya. Namun rasa dingin yang menyentuh isi perutnya membuat ia menjadi tak nyaman. Dengan segera ia menuju tebaran tikar untuk berbaring dan mengadu tentang keadaan tersebut. Tanpa lelah dan kepastian ayahku yang sudah pergi bekerja sejak pagi tadi menjadi satu-satunya harapan untuk melepas lapar kami hari ini. Ayahku adalah seorang pemulung terhebat dijagad ini, seorangnya bekerja untuk menghidupi kami. Bekerja pagi hari untuk makan siang, dan bekerja siang hari untuk makan malam. begitulah seterusnya. Kami anak-anaknya masih kecil-kecil, kakakku baru berusia enam tahun dan adikku usianya masih dua setengah tahun. Sementara diantara mereka adalah aku yang tidak pernah memikirkan usia dan hanya berkemampuan khayal dan impian.
Tak lama kemudian, dipangkuan ibu, adikku tersebut tertidur karena bosan menahan semuanya. Ibu yang menjaga kami seharian adalah perempuan lemah, sudah menjadi hal yang biasa jika ia menjadi aduan atas penderitaan kami anak-anaknya. Namun iapun sangat menderita dengan keadaannya. Sakit-sakitan dan rentan perasaan.
Semua masih dalam keadaan yang sama, berhiaskan kemiskinan dengan nyanyian lapar sebagai penghangat suasana. Menunggu jawaban atas semua keadaan aku masih terus berharap cemas, dimana aku sudah merasa bosan untuk duduk diam menatap lantai tanah diruangan ini. Namun ada panggilan dibalik pandanganku yang terus berkata untuk tetap duduk diam dan jangan pergi. Seperti khayal yang berbicara lantang ketelingaku aku sedikit mempercayainya.
Setelah detik yang telah banyak berlalu ntah apa yang membuatku bahagia hari ini, dan bukan mengandalkan khayalku namun aku yakin sesuatu yang baik akan terjadi, ini semakin terasa dekat dan begitu hangat. Bukan karena cahaya matahari yang cerah menembus dinding-dinding tepas tempat kami tinggal, bukan karena kicau burung merdu yang terasa menyejukkan, dan juga bukan karena hujan yang tak jadi datang tadi malam sehingga tak mengguyur tidur kami. Tapi karena saat aku berpaling kearah pintu aku melihat ayah pulang membawa beberapa nasi bungkus sebagai penghenti lapar hari ini. Sedikit lemak dan rasa pedas yang membasuh bibirku. Menghilangkan rintihan adik kecilku yang merasa lapar sejak tadi, dan menyentuh isi perut kakakku yang terbangun dari tidurnya yang tak nyaman. Namun satu hal yang terhebat ialah memberikan tenaga baru buat ibuku dapat kembali menyulam kain. “ha…ha…” tawaku karena kemiskinan yang mendarah daging ini.***