Rabu, 03 Juni 2009

Saksi Rumput Kering

Bagaimana aku harus pergi, harapku datang sebuah keajaiban saat ini, tapi belum juga, namun setelah lama menanti akhirnya mereka datang juga, para tukang sapu jalanan yang terlihat gagah dengan senjata mereka, walau seragamnya tak semegah seragam prajurit kerajaan, juga tak kebal dan terbuat dari besi, mereka adalah pahlawan-pahlawanku"


Dalam cercahan pinggir jalan yang hiruk pikuk aku harus bertarung dengan tamparan debu-debu liar, bisingnya kenderaan bermotor yang berlalulalang sangat membuat tak nyaman tempat ini. Yang lebih menyiksa dan melelahkan adalah dimana aku harus berdiri tegak menantang hari yang tak pernah bosan memberi tekanan disetiap detik panasanya. Mereka orang-orang yang sibuk beraktifitas ditempat ini tampak saling sikut-sikutan dan tonjok-tonjokan hanya untuk mencari sesuap nasi. Ada yang berteriak-teriak, ada yang diam menungu, ada yang mondar-mandir, dan ada yang jongkok. Jauh dari kata nyaman dan idaman. Yang terdengar hanya mencari makan…dan mencari makan… sementara aku yang sudah sejak tadi kehausan, dan tak berpikir lagi tentang rasa lapar dan selalu menjadi acuhan mereka. Dahaga menyiksa karena kering yang terpaksa. Harus bertahan sampai ujung senja.
Dijalan ini, jalan Soedirman namanya, Nama itu adalah cermin perjuangan dari seorang pahlawan yang berperang demi kehidupan bersama, Sebuah pertarungan untuk suatu kemerdekaan tentunya, kemerdekan dengan harapan kesejahteraan. Tapi sekarang, yang tinggal hanya parade panjat pinang dan lomba goni disetiap hari jadinya, juga nama seorang Jendral yang bertarung dengan darahnya yang dijadikan sebagai simbol jalan ini, menjadi saksi kesesakan sudut kota, dan ini tak lebih menjadi leluconku untuk membuyarkan rasa hausku tadi, mengapa tidak, haruskah aku mengikuti emosiku karena ulah botol-botol minuman dingin yang tertata rapi ditoko pak Umar, “tidak!” jawabku, walau botol minuman itu tak lelah tertawa riang menghinaku. Namun yang lebih parah adalah es buah diatas gerobak dayung yang menari-nari dengan kebanggaan rasa asam dalam tiap tetesnya. Ingin kucekik leher ini rasanya, semua terlihat membodohiku seperti sosok makhluk tanpa harapan, apa yang harus kulakukan? Mengadu pada nyanyian pengamen-pengamen cilik yang selalu puas terhadap uang recehan, dan juga harus tersenyum pada orang yang memberi kata maaf karena tidak memberi apa-apa kepada mereka? Kurasa keadaan itu hampir sama buruknya dengan keadaan ku. Tapi kucoba meraih rintikan minuman soda yang dilemparkan dari sebuah mobil mewah yang baru saja melintas, walau perbuatannya juga mengacaukan suasana namun ia sedikit merubah keadaanku sepertinya, belum sempat kutenggak tetesan itu, injakan keras tepat diatas tubuh mungilku harus melumpuhkan badan ini sepertinya, keadaan ini lebih memperburuk suasana tentunya. Mengapa ini harus terjadi padaku? Sampai kapan derita ini berakhir dan mereka menganggapku ada? Lagi-lagi teriakku dijawab dengan keadaan acuh dan tidak perduli.
Sementara kekesalanku yang tak kunjung terjawab, aku seperti mendengar kegaduhan diujung jalan. Ya benar, itu adalah jalanan yang selalu ramai dipadati oleh para pedagang kaki lima, ada apa gerangan? Teriakkan dari tempat itu semakin tedengar jelas, dengan perlahan kujinjitkan tubuh lemah ini untuk melihat apa yang terjadi, setiap celah dari tubuh-tubuh besar ini menjadi ruang pandangku. Masih juga keinginan tahuanku belum terbayar, sampai aku bisa melihat dengan jelas, beberapa orang petugas berseragam lengkap yang bertingkah seperti preman-preman dengan tegasnya menertibkan tempat itu, dengan cara menendang jualan kecil ibu tua yang sedang menggendong anaknya, juga terlihat kakek tua bungkuk yang sedang sibuk merapikan dagangannya yang tak seberapa karena dicampakkan oleh serdadu-serdadu bangsa ini. Muda dan berkekuasaan, namun mengapa terlihat seperti para penjajah pikirku, hatiku semakin kecil dan berontak melihat keadaan ini. Sejak tadi hanya pemandangan keterpurukan disetiap sisinya. Membuatku menyerah dan berserah, letihnya hidup ditengah kota, dan terlalu menyiksa. Masih dengan celotehan-celotehan ringan yang keluar dari mulutku aku harus merasa sesak karena terinjak lagi oleh orang-orang yang tak perduli dengan lingkungan. Dasar kalian, orang-orang yang tak pernah menghargai. Kacau sekali tempat ini, sibuknya petugas pengamanan jalan yang bersergam terlihat seperti koruptor pinggiran. Menangkap kesalahan para penderara untuk uang perdamaian. Kumis tipis dengan ujungnya yang tajam-tajam adalah senjata pamungkas untuk menegakkan keadilan. Kotor dan menjijikan, memaksaku untuk pergi dan angkat kaki.
Wushh… Hampir saja sambaran kenderaan umum yang kebut-kebutan bersama egonya masing-masing menghabisi nyawaku, dengan alasan mencari uang setoran, gaji, dan uang makan sopir-sopir itu menghilangkan kewarasannya dengan cara saling berlomba untuk mendapatkan penumpang. Kurasa orang-orang seperti mereka lebih baik hidup dihutan bisikku dalam, bertarung dengan para binatang buas dalam mencari makan,karena itu cukup membahayakan diri mereka. Sementara perbuatan mereka barusan dapat membahayakan orang-orang disekitar,, dan membuat orang-orang menjadi berdosa karena telah mengutuk mereka dengan umpatan-umpatan kotor yang tak penting. Keganasan tempat ini semakin lama semakin menjadi, dan semakin membuat kebosananku untuk tetap tinggal tumbuh subur. Keputus asaan dan perasaan kecewa, copet-copet yang cekatan hidup sejahtera dan sentausa disini, bersama preman-preman pinggiran yang selalu tertawa saat merima setoran. Dasar penghianat, senang diatas derita orang lain, mengapa tak pernah belajar tentang arti kesusahan mereka, ini malah menyebarkan virus kesengsaraan. Dan bangga karena dosa-dosa.
Semakin lama matahari semakin terik, dan diufuk jalanan semakin panas sepertinya, karena ulah para preman yang harus berakhir dengan pukul-pukulan, merka saling menghancurkan hanya untuk daerah jajahan. Mengandalkan komplotan-komplotan dalam pertarungan, lebih baik gotong royong membangun kemajuan tukasku.
Kakiku terasa lemas saat ini. Bagaimana aku harus pergi, harapku datang sebuah keajaiban saat ini, tapi belum juga, namun setelah lama menanti akhirnya mereka datang juga, para tukang sapu jalanan yang terlihat gagah dengan senjata mereka, walau seragamnya tak semegah seragam prajurit kerajaan, juga tak kebal dan terbuat dari besi, mereka adalah pahlawan-pahlawanku, yang selalu setia menjaga kebersihan dan kenyamanan. Lebih baik mereka dibandingkan pemburu-pemburu ekonomi ditempat ini. Akhirnya aku bisa pergi meninggalkan penatnya jalan ini. Dengan segera mereka mngangkat sampah-sampah yang berserakkan dan mencabut rumput kering seperti aku yang sudah sangat lelah melihat tempat ini. Senyumku puas saat terjun kedalam gerobak sampah. Harapku tak kembali ketempat ini, dan coba hidup tempat lain.***

design template by: warnafoto.blogspot.com