"Dalam kesempatan ini jauh lebih baik, sebelum senja menapaki aspal berabu dan sengaja hilang karena tergambar oleh warna gelap. Kami sudah mengantongi harapan untuk butiran nasi dengan rasa pedas malam ini. Dan tentunya dapat beristirahat dari tusukan tajam pedang ekonomi tanpa harus mendengar nyanyian dari dalam perut yang biasanya menghantarkan ku pada tidur yang tidak nyaman."
Belum sempat kulepas tawaku diujung cerita semalam, lantas aku harus bersedia terpukul perih karena siksa derita yang tertangkap pandanganku. Ini benar-benar terjadi, mereka teman-temanku yang resah dalam pertarungan ganas jalanan. Melawan terik mentari yang terbit diatas pundak dan terbenam saat hendak duduk istirahat. Sebungkus nasi apa adanya adalah pemanis laknat yang selalu mendesak untuk dinikmati. Dan kerongkongan yang menjerit kekeringan hanya bisa menunggu sabar sampai sisa recehan yang tetap tinggal dalam kantong saku. Dengan inilah kerinduan dahaga dapat terobati nantinya. Hanya saja acuhnya mereka menelantarkan nyanyian harapan kami sudah cukup menyakiti perasaan raguku yang bertarung keras diujung tanda tanya. Tapi selalu saja sapa hangat dengan senyum yang cepat berlalu kami sediakan sebagai pelepas lelah mereka. Walau demikian terkadang senyum ini dianggap sebagai kotoran yang telah mengganggu kenyamaan mereka, seperti tawa penjilat yang tak pernah puas dengan keadaan, dengan harapan mengubah makna berandalan yang dianggap sebagai sampah kota yang tidak ada gunanya. Namun jawabku dengan bangga dalam hati adalah kami bocah-bocah mandiri yang tegar berdiri membelakangi dinding kemunafikan. Tat kala keadaan pun tak akan mampu membayar kebebasan kami ini. Dengan segera kutinggalkan wajah-wajah yang tak bersahabat itu.
Langkah gontaiku tetap bergerak cepat melawan deraian ombak pasang yang akan menghantarkan kami ketepian lapar nantinya. Maka sebelum tiba ditepi, sekali lagi kami senandungkan bait-bait nada yang sengaja diteriakkan dari emosi sebagai tanda bahwa semuanya masih tetap bersemangat dan tidak akan pernah menyerah. Terus berulang-ulang dan dengan semangat yang tak surut pula.
Dalam kesempatan ini jauh lebih baik, sebelum senja menapaki aspal berabu dan sengaja hilang karena tergambar oleh warna gelap. Kami sudah mengantongi harapan untuk butiran nasi dengan rasa pedas malam ini. Dan tentunya dapat beristirahat dari tusukan tajam pedang ekonomi tanpa harus mendengar nyanyian dari dalam perut yang biasanya menghantarkan ku pada tidur yang tidak nyaman. Kepuasaanku bukan hanya untuk tanyaku yang terjawab, namun terlebih karena makna mandiri yang kudapat dari pembelajaran tentang arti hidup yang sesungguhnya. Dan juga arti dari rambut lusuh dengan pakaian sederhana yang menyiratkan sebuah jawaban. Untuk apa aku disini? Dan mengapa aku ditempat ini?.
Oppss… tengah khayal ku bangga terlintas, kami harus segera tergusur oleh sirine patroli yang tak segan menangkap tikus busuk kotor seperti aku. Seperti tanpa bosan suara sirine itu tampak seperti penyapu jalanan yang dianggap sebagai deterjen pembersih dari kotor yang kami buat untuk tetap bartahan hidup. Tikus-tikus yang setiap hari bernyanyi ini dianggap tak lebih baik dari tikus yang ada diatas sana. Tikus-tikus birokrat yang mengerogoti jantung orang banyak, dan selalu tertawa bingar ditengah derita orang-orang yang mencari kehidupan sampai pudar. Walau teriak bunda merana dan para pedagang kaki lima histeris memecah sendu. Tikus tersebut sengaja memasang nyanyian dansa diatas gelas-gelas yang berpesta. Dan kami tikus yang dianggap kotor ini harus menyelinap dibalik tanah basah yang dingin untuk bertahan. Sampai kerlap-kerlip lampu kota tak terlihat dan aman kembali bersenggama, tikus ini kembali bernyanyi.
Menjijikan pikirku dalam, seraya petikkan gitarku sunyi di sudut gang. Dan tajamnya senar yang melukai hatiku yang luluh lantak,saat kurindukan keluargaku. Tempat yang jauh lebih baik dari pada sungai-sungai kumuh ini. Tempat ku bersandar dari keringnya terik panas yang setiap hari kujilat. Juga selimut tebal untuk menghilangkan rasa dinginku saat tidur malam menghadap langit yang tak pernah kugapai. Hanya saja angan ku tetaplah angan, yang bersandar pada keragu-raguan untuk kembali atau tetap tinggal. Belum ada kepastian untuk hal ini. Sebuah perceraian keluarga yang menjawab mengapa aku berada di tempat ini. Mengapa aku bisa bernyanyi, karena seorang ayah yang juga seekor tikus birokrat yang membeli kebahagiaannya dengan menelantarkan aku jauh dan sangat jauh. Kesalku saat mengadu padanya hanya ia jawab dengan lembar-lembar materi. Bukan harapan anak yang rindu bermain sampai lelah dengan ayahnya. Hal ini terlihat begitu kejam buatku, ibu yang jauh terlihat murung sembari menunduk membelai rambutku.
Sampai kekecewaan ini merasukiku yang tertinggal hanya nyanyianku untuk melepas kerinduan tadi. Buat sosoknya yang memberiku arti dan semangat untuk selalu tegar seterusnya. Inilah keadaan yang hitam dan berakhir putih. Sekali lagi tikus ini bernyanyi riang.