"Sesuatu yang aku lahap dipagi tadi telah merubahnya, Suasana kelas yang ricuh dengan tatapan miring dari semua temanku menjadi pelajaran terburuk pagi ini. Sampai aroma tak sedap mulai berlari dan hangat diujung dudukku terasa tidak nyaman aku kembali diterpa tawa oleh mereka. Yang kulihat hanya wajah Clara diam menjauh…"
Untuk sebuah kecerobohan yang tak harusnya kuperbuat, saat ini telah mengakhiri perasaanku selama beberapa waktu. Bersama penantian dibalik kesal membuatku menjadi orang terbodoh yang harus membunuh perasaanku. Dia tak akan pernah tau ada rasa sayang ku di balik pelangi kuning itu. Tempat aku melantunkan setiap kisah yang pernah ada antara aku dan dia, namun sekarang harus terbuang diakhir cerita. Hanya untuk Clara aku tertawa, dan canda tawanya adalah bagian terhebat dari setiap kisah, namun semoga ia mengerti kalau aku akan tetap ada bersama perasaanku.
Namaku adalah Ben, manja, nakal, dan ceroboh adalah bagian terbesar dalam diriku. Aku adalah seorang muda yang berselera tinggi. Tentang makanan, mainan, sampai dengan perasaan. Hanya tinggal bersama kedua orangtuaku menjadikan aku seorang yang selalu bermandikan kasih sayang. Tak pernah bosan aku meminta apa saja kepada mereka, dan semua pasti dipenuhi. Sampai akhirnya ada sesuatu yang tak akan pernah kuminta dari mereka. Karena hal ini memang tak akan pantas jika kuminta kepada mereka.
“mama dimana kaus kakiku” ini adalah teriakkan yang sudah biasa bergema pagi hari dirumahku saat aku hendak pergi bersekolah. Sesaat kemudian kaus kaki itu datang dibawakan oleh mama. Lalu masih dengan mengandalkan sedikit kekuasaanku sebagai anak yang paling disayangi aku meminta agar kauskaki itu juga dipakaikan. Dan sama seperti yang kuucapkan tadi semua yang aku pinta kepada mama selalu dianggap sebagai bentuk curahan kasih sayang terhadap seorang anak yang manja seperti aku. Aku masih muda dan belia, sekarang duduk dikelas empat SD. Dan tentunya wajar kalau permintaanku tadi masih terbilang masuk akal bagi anak seusiaku. Usai menggunakan seragam sekolah dengan segera aku berjalan menuju meja makan, terlihat menantang setiap hidangan sarapan yang terhias diatas meja tersebut. Hal ini tentunya sangat membingungkan karena sifat rakus yang sudah mendarah daging dalam diriku. Sampai aku memakan semua hidangan tersebut tinggal perasaan kenyang dan malas bergerak yang merasukiku saat ini. Inilah diriku, siceroboh yang melakukan segalanya tanpa pertimbangan. Tentu yang menanggung semuanya adalah aku bersama sifat ceroboh tersebut yang akan berbuah penyesalan.
Setelah berhasil mengusir malas yang sempat duduk diam bersamaku, akhirnya kugerakkan tubuh ini yang juga dipengaruhi dengan pemikiran sedikit maju. Aku harus berangkat kesekolah pagi ini, namun tak hanya itu selain pemikiran maju tersebut aku juga diiringi dengan perasaan bersemangat ingin bertemu Clara disekolah. Huh… aku yang bodoh!
Setiap pagi ayah selalu mengantarku kesekolah. Bukan karena jarak sekolahku yang jauh, namun sama seperti yang kuucapkan tadi, kalau aku adalah seorang yang manja dan termanja. Maka menjadi kebutuhan pokok agar aku diantar olehnya setiap hendak pergi kesekolah. Sesaat setelah aku tiba disekolah sudah banyak teman-temanku yang datang ditempat ini. Mereka adalah komunitas pelajar yang sudah siap dengan setumpuk otak sebagai wadah penampung ilmu untuk hari esok sebagai modal menjalani hidupnya masing-masing. Sekarang yang terlihat adalah teman-teman ku tersebut bersama tumpukan otaknya masing-masing yang berlari dengan senangnya sambil bercanda dan bergurau sebagai anak yang berusia 10 tahun. Namun diriku lebih senang tersenyum melihat Clara pagi ini karena ia terlihat segar sekali dengan rambut lurusnya yang masih sedikit basah. Ntah otakku yang lebih cepat besar dibandingkan dengan tubuhku, atau apalah namun aku sudah merasakan cinta yang belum pantas aku rasakan. Bagimana tidak, Clara adalah perempuan termanis dikelasku. Kulitnya yang putih dilengkapi dengan rambut lurusnya, dengan mata yang lentik, serta sepasang lesung menghias cantik pada pipinya. Inilah cintaku, yang terbutakan hanya dengan fisik sempurna dari Clara. Kukira bukan hanya diriku yang dibutakan oleh kecantikkan Clara, karena aku melihat tiga orang teman laki-lakiku yang menyapa Clara dengan senyum berlebihan di pintu masuk sekolah. Seperti harapan tanpa kepastian dari wajah mereka yang ingin merebut Clara dariku, Huh… takkan kubiarkan gadis putihku direbut mereka, tiga orang yang tak pernah pantas bersama Clara.
Dalam keheningan sejenak dibalik khayalku tentang kepemilikkan Clara, aku dihentakkan dengan bunyi bel sekolah yang terdengar membosankan. Ini merupakan pertanda dari awal pembelajaran hari ini. Dan juga ini menjadi alat mengumpulkan seluruh siswa untuk duduk rapi dikelas masing,masing dan memulai pelajaran. Setelah semua pelajar masuk dengan rapi kedalam kelas, maka bu guru memulai pembahasannya. Dan dipagi ini aku yang duduk manis dibelakang Clara, lalu aku berakting seperti konsentrasi terhadap pelajaran yang disampaikan bu guru. Namun ntah apa yang merasukiku, bersama perasaan grogi melihat Clara begitu dekat seperti tak biasa kurasakan sebelumnya. Bukan karena ungkapan perasaan yang sudah kurencanakan sebelumnya untuk mengutarakan isi hatiku padanya siang nanti, dan juga bukan karena tugas dari bu guru yang belum siap aku kerjakan, tapi ntah ketakutan apa yang kurasakan saat ini. Gelisah dengan perasaan ragu yang hebat kurasakan saat aku duduk didekatnya sambil memandang kesempurnaan pada dirinya. Yang lebih parah lagi hal ini menghasilkan keringat dipagi yang masih terbilang segar saat ia memalingkan wajahnya dan mengucapkan selamat pagi kearahku. Sampai akhirnya aku tak bisa merasakan perasaan ini “Breettt…t...t...t...t…” ternyata aku mencret. Sesuatu yang aku lahap dipagi tadi telah merubahnya, Suasana kelas yang ricuh dengan tatapan miring dari semua temanku menjadi pelajaran terburuk pagi ini. Sampai aroma tak sedap mulai berlari dan hangat diujung dudukku terasa tidak nyaman aku kembali diterpa tawa oleh mereka. Yang kulihat hanya wajah Clara diam menjauh dari tempat duduknya menuju kearah bu guru. Sesaat perasaanku hancur bersam diamnya gerak tubuhku, Dengan rasa malu yang tak terkatakan kutinggalkan tempat itu sebagai tanda kebersalahan seorang yang ceroboh. Tapi bayangku masih terpaut dengan wajah Clara dipagi ini, memaksaku untuk membunuh perasaan yang kubiarkan hidup dalam waktu terakhir. Tanpa ungkapan, serta arti dari perasaan. Namun suatu saat Clara harus mengerti bahwa Kuning itu bukan perasaanku.***